Entahlah, kami belum mengetahui mengapa si Bandi, tetangga kami betah
dengan tanpa memiliki status pekerjaan apapun. Sebelumnya telah
bertahun-tahun lamanya si Bandi ini menjadi pengangguran, mungkin faktor
usia yang sudah tidak bisa lagi mengajukan lamaran pekerjaan, mengingat
usianya telah di atas angka empat puluhan.
Dahulu ia bekerja sebagai seorang Satpam atau petugas keamanan di sebuah pabrik dekat rumahnya. Namun karena pabriknya terkena dampak krisis global, diapun bersama ratusan karyawan lainnya di PHK. Kira-kira dua tahun yang lalu istrinya sudah tidak bekerja lagi di suatu pabrik sebagai buruh biasa. Jadilah keduanya hidup tanpa ada penghasilan apapun.
Setahun pasca tidak bekerjanya sang istri, uang pesangon yang pernah didapat nyatanya habis. Aku tahu, jika sang istri merasa berat menghadapi hidup ini, tubuhnya kini kurus tak seperti dulu lagi sangat jauh sekali berbeda pada waktu ia dulu masih bekerja. Aku sampai salut kepada sang istri itu. Bagaimana ia bisa memiliki hati yang sungguh luar biasa sabarnya menemani sang suami yang tak punya penghasilan sedikitpun. Sama sekali tak ada usaha apapun dari suaminya untuk mencari nafkah. Tak heran jika ada saja para tetangga kami membicarakan suaminya itu.
Beberapa bulan kemudian kami mendapat tetangga baru. Istrinya masih bekerja sebagai guru sekolah dasar di jakarta. Sedang Pak Rafli, suaminya telah pensiun. Mungkin karena sama-sama tak punya kegiatan, akhirnya mereka bagaikan sepasang sahabat. Mereka menjadikan siang sebagai malam, dan malam sebagai siang. Jika pagi sampai sore mereka tidur. Sedang malamnya mereka malah asyik ngumpul di depan rumah. Kami sebagai tetangganya pernah merasa terganggu, pasalnya saat malam-malam mereka membuat beberapa kursi untuk tempat duduk ngobrol mereka. Suara palu dan potongan gergaji mereka sangat jelas terdengar oleh kami yang berada di kamar dekat depan rumah hingga anakku yang masih balita sangat sulit tidur. "Ah,... apakah mereka tak bisa melakukannya pada siang hari ?" aku hanya bisa memerangi batinku.
Suatu saat Pak Rafli memberikan ide untuk membuat sebuah gerobak sebagai pengais rezeki untuk Pak Bandi. Setelah gerobak itu jadi, Pak Bandi beserta istri hanya berjualan gorengan di depan rumahnya. Pembelinya hanya para tetangga-tetangga kami, itupun mungkin didampingi oleh rasa kasihan. Pernah suatu kali aku menyarankan kepada istrinya agar Pak Bandi berjualan di depan sekolah yang tidak jauh dari rumah kami. Namun, istrinya membantah dengan alasan berat membawa gerobak ke sana. Aku tidak mengerti apakah istrinya sedang membela suaminya atau memang pribadi Pak Bandi. Pikirku, aku baru melihat seorang sosok laki-laki yang masih sempurna physiknya, tapi benar-benar tak punya hasrat untuk berusaha mencari nafkah, apapun bentuknya.
Lagi-lagi aku terpukau saat melihat istrinya membawa baskom berisi gorengan yang dijajakan sambil berjalan di sepanjang jalan RW kami. Kemana suaminya ? Ah, ternyata suaminya tengah asyik bermimpi dengan berselimut sebuah kain sarung di rumahnya. Bukankah seharusnya ia mampu mendorong gerobaknya di dekat sekolah atau di dekat keramaian orang ? Banyak yang geram dengan kelakuan Pak bandi ini, terutama para ibu-ibu di tempat kami tinggal. Mereka merasa kasihan kepada istri pak Bandi, kenapa pak Bandi yang nampak masih gagah tak mau menolong istrinya mencari nafkah.
Namun nyatanya gerobak itu kini tengah menjadi barang tak berarti, ia hanya diam bersandar di depan rumah Pak Bandi. Sungguh sangat disayangkan jika ide baik dari pak Rafli nyatanya hanya menjadi angan-angan belaka. Padahal, bila saja Pak Bandi mau membawa gerobak itu ke tempat keramaian, mungkin akan ada tambahan uang yang di dapat untuk menghidupi keluarganya.
Mereka kini hidup dengan berharap belas kasih dari kami para tetangganya. Saudara istrinya dengan sukarela dan baik hati memberikan rumahnya untuk ditinggali. Pun setiap bulannya, meski terbesit rasa kekecewaan terhadap suami adiknya itu, ia tak pernah lupa pada saudaranya yang kesulitan itu.Sudah beberapa bulan ini, anak sulungnya telah lulus dari STM. Mungkin rezeki belum berpihak kepadanya, hingga kini belum ada panggilan pekerjaan untuknya. Sudah beberapa kali lamarannya ditolak. Sudah pasti keluarga itu berharap anak sulungnya bisa menjadi tulang punggung bagi keluarga itu.
Sungguh hidup ini mungkin nampak keras namun harusnya kita perjuangkan dengan sekuat hati dan jiwa . Dan mungkin hidup ini akan nampak selembut sutera, jika kita mampu saling berbalas kasih kepada pasangan kita.
Sumber : "http://kembanganggrek2.blogspot.com/"
Dahulu ia bekerja sebagai seorang Satpam atau petugas keamanan di sebuah pabrik dekat rumahnya. Namun karena pabriknya terkena dampak krisis global, diapun bersama ratusan karyawan lainnya di PHK. Kira-kira dua tahun yang lalu istrinya sudah tidak bekerja lagi di suatu pabrik sebagai buruh biasa. Jadilah keduanya hidup tanpa ada penghasilan apapun.
Setahun pasca tidak bekerjanya sang istri, uang pesangon yang pernah didapat nyatanya habis. Aku tahu, jika sang istri merasa berat menghadapi hidup ini, tubuhnya kini kurus tak seperti dulu lagi sangat jauh sekali berbeda pada waktu ia dulu masih bekerja. Aku sampai salut kepada sang istri itu. Bagaimana ia bisa memiliki hati yang sungguh luar biasa sabarnya menemani sang suami yang tak punya penghasilan sedikitpun. Sama sekali tak ada usaha apapun dari suaminya untuk mencari nafkah. Tak heran jika ada saja para tetangga kami membicarakan suaminya itu.
Beberapa bulan kemudian kami mendapat tetangga baru. Istrinya masih bekerja sebagai guru sekolah dasar di jakarta. Sedang Pak Rafli, suaminya telah pensiun. Mungkin karena sama-sama tak punya kegiatan, akhirnya mereka bagaikan sepasang sahabat. Mereka menjadikan siang sebagai malam, dan malam sebagai siang. Jika pagi sampai sore mereka tidur. Sedang malamnya mereka malah asyik ngumpul di depan rumah. Kami sebagai tetangganya pernah merasa terganggu, pasalnya saat malam-malam mereka membuat beberapa kursi untuk tempat duduk ngobrol mereka. Suara palu dan potongan gergaji mereka sangat jelas terdengar oleh kami yang berada di kamar dekat depan rumah hingga anakku yang masih balita sangat sulit tidur. "Ah,... apakah mereka tak bisa melakukannya pada siang hari ?" aku hanya bisa memerangi batinku.
Suatu saat Pak Rafli memberikan ide untuk membuat sebuah gerobak sebagai pengais rezeki untuk Pak Bandi. Setelah gerobak itu jadi, Pak Bandi beserta istri hanya berjualan gorengan di depan rumahnya. Pembelinya hanya para tetangga-tetangga kami, itupun mungkin didampingi oleh rasa kasihan. Pernah suatu kali aku menyarankan kepada istrinya agar Pak Bandi berjualan di depan sekolah yang tidak jauh dari rumah kami. Namun, istrinya membantah dengan alasan berat membawa gerobak ke sana. Aku tidak mengerti apakah istrinya sedang membela suaminya atau memang pribadi Pak Bandi. Pikirku, aku baru melihat seorang sosok laki-laki yang masih sempurna physiknya, tapi benar-benar tak punya hasrat untuk berusaha mencari nafkah, apapun bentuknya.
Lagi-lagi aku terpukau saat melihat istrinya membawa baskom berisi gorengan yang dijajakan sambil berjalan di sepanjang jalan RW kami. Kemana suaminya ? Ah, ternyata suaminya tengah asyik bermimpi dengan berselimut sebuah kain sarung di rumahnya. Bukankah seharusnya ia mampu mendorong gerobaknya di dekat sekolah atau di dekat keramaian orang ? Banyak yang geram dengan kelakuan Pak bandi ini, terutama para ibu-ibu di tempat kami tinggal. Mereka merasa kasihan kepada istri pak Bandi, kenapa pak Bandi yang nampak masih gagah tak mau menolong istrinya mencari nafkah.
Namun nyatanya gerobak itu kini tengah menjadi barang tak berarti, ia hanya diam bersandar di depan rumah Pak Bandi. Sungguh sangat disayangkan jika ide baik dari pak Rafli nyatanya hanya menjadi angan-angan belaka. Padahal, bila saja Pak Bandi mau membawa gerobak itu ke tempat keramaian, mungkin akan ada tambahan uang yang di dapat untuk menghidupi keluarganya.
Mereka kini hidup dengan berharap belas kasih dari kami para tetangganya. Saudara istrinya dengan sukarela dan baik hati memberikan rumahnya untuk ditinggali. Pun setiap bulannya, meski terbesit rasa kekecewaan terhadap suami adiknya itu, ia tak pernah lupa pada saudaranya yang kesulitan itu.Sudah beberapa bulan ini, anak sulungnya telah lulus dari STM. Mungkin rezeki belum berpihak kepadanya, hingga kini belum ada panggilan pekerjaan untuknya. Sudah beberapa kali lamarannya ditolak. Sudah pasti keluarga itu berharap anak sulungnya bisa menjadi tulang punggung bagi keluarga itu.
Sungguh hidup ini mungkin nampak keras namun harusnya kita perjuangkan dengan sekuat hati dan jiwa . Dan mungkin hidup ini akan nampak selembut sutera, jika kita mampu saling berbalas kasih kepada pasangan kita.
Sumber : "http://kembanganggrek2.blogspot.com/"
cerita yang bagus mas.. jadi terinpirasi..
BalasHapus